Total Tayangan Halaman

Rabu, 30 Maret 2011

Ottorino Monaci, Penggali Kanal di Siberut


Pastor Ottorino Monaci SX adalah penggali kanal terusan pemintas jalan di Pulau Siberut, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Kanal itu berjarak sekitar 1,5 kilometer dan memotong jarak antara wilayah Desa Muara Siberut dan wilayah Desa Katurai di Pulau Siberut Selatan.
Kanal yang kini berkedalaman sekitar dua meter dan lebar sekitar lima meter itu dikerjakan Monaci bersama sekitar 30 orang penghuni asrama Pastoran Siberut mulai tahun 1985-1991.
”Waktu itu umur anak-anak sekitar 15 tahun. Ada waktu libur satu sampai 1,5 jam dalam sehari dan waktu-waktu kosong di luar jam belajar. Pada waktu itulah mereka bikin itu (kanal),” kata Monaci.
Sebagian warga di kampung- kampung sekitar rupanya juga ikut membantu pembuatan kanal. Namun, jumlah mereka tidak seberapa, hanya sekitar 20 persen dari total pekerja.
Sebelum kanal itu terwujud, bila hendak keluar dari Pulau Siberut Selatan ke pulau-pulau lain di sekitarnya, warga setempat harus memutar lewat pantai barat dengan jarak tempuh selama dua jam menggunakan perahu. Atau, bisa juga melewati bagian bakal kanal itu dengan berjalan kaki sekitar 1,5 jam.
Kini, warga yang memanfaatkan kanal tersebut bisa menempuh jarak itu hanya dalam tempo kurang dari 30 menit. Kompas yang mencoba rute kanal itu dengan perahu motor bermesin 40 PK hanya butuh waktu tempuh sekitar 15 menit untuk melintasi kanal tersebut.
Ketika kepada seorang wisatawan asal Inggris diceritakan mengenai proses pembuatan kanal itu, dia seakan tak percaya. Pada masa modern sekarang, masih ada kanal buatan manusia yang digali secara manual.
Selepas menyusuri kanal dengan vegetasi hutan bakau pada seperempat bagian akhirnya, dan pepohonan besar di bagian awalnya, perjalanan bisa langsung diteruskan ke pulau-pulau lain di sekitarnya. Ini termasuk ke Pulau Nyang-Nyang dan sejumlah pulau lain yang menjadi taman bermain bagi para peselancar dunia di kawasan Kepulauan Mentawai.
”Dulu kanal itu digali dengan menggunakan cangkul dan kapak untuk memotong batang-batang pohon. Kami juga memakai sekop dan keranjang,” cerita Monaci tentang peralatan yang digunakan selama proses penggalian kanal.
Dia mengakui, tidak mudah membuat kanal itu. Sebelumnya, berbagai pihak mencemooh, bahkan tak percaya akan keberhasilan mewujudkan kanal.
Malah, Monaci yang saat pembangunan kanal itu masih berstatus sebagai pastor pembantu tidak dipercaya bakal bisa menyelesaikan kanal itu oleh pastor kepala, Yosef Bagnara SX. Karena itulah, Monaci mesti menunggu Pastor Yosef mengambil cuti sebelum memulai pembuatan kanal tersebut.
”Ini karena dia tidak setuju,” seloroh Monaci. Katanya, Pastor Yosef menganggap daerah itu terlalu dalam sehingga tak mungkin dikerjakan secara manual. Ternyata kedalaman di daerah pengerjaan kanal itu kurang dari satu meter. Pada awalnya, kanal itu lebarnya sekitar 2,5 meter dengan kedalaman sekitar 0,5 meter.
Selain itu, warga sekitar juga tampak apatis dengan tak memberikan bantuan yang cukup. Kata Monaci, saat itu sebagian warga menilai pembuatan kanal merupakan pekerjaan sia-sia.
Pasalnya, saat itu sebagian besar warga tak keberatan harus berjalan 1,5 jam atau memutar selama 2 jam lewat pantai barat untuk menembus keterisolasian. Bahkan, saat kanal itu sudah jadi pun masih ada anggapan yang membuat miris. ”Mereka bilang, saya rugi karena saya yang mengerjakan, tapi orang lain yang lewat dan menggunakan kanal itu. Kalau begitu, ya kita susah maju karena tak ada sifat sosial,” ujarnya.
Butuh perawatan
Tahun 1993-1995 kanal diperlebar menjadi sekitar 5 meter oleh sebuah perusahaan pengolahan sagu di pulau tersebut. Namun, imbuh Monaci, pelebaran kanal itu justru membawa masalah lingkungan karena sekarang terjadi pendangkalan akibat material pasir yang tidak terbawa tuntas.
”Mestinya, saat bulan baru, ketika musim pasang paling rendah antara pukul 10.00-15.00, diadakan lagi kerja bakti untuk menggali kanal itu. Cukup tiga hari bekerja gotong royong, dengan syarat semua orang terlibat, maka tak ada masalah,” tutur Monaci mengkritik tak memadainya perawatan kanal tersebut.
Ia menambahkan, masalah perawatan infrastruktur perhubungan itu sebenarnya merupakan masalah utama di Kepulauan Mentawai, bahkan menjadi persoalan umum di Indonesia. Padahal, kata dia, semua urusan pendidikan, kesehatan, dan perekonomian itu sangat tergantung pada kualitas infrastruktur perhubungan, seperti jalan.
Survei
Monaci memulai tugasnya di Kepulauan Mentawai sejak 1971. Saat itu, selama sekitar enam bulan ia bertugas di Pulau Sipora. Setelah itu dia pindah ke Sikabaluan, Siberut Utara, selama tiga tahun, kemudian kembali ke Pulau Sipora hingga tahun 1979.
Mulai 1980 Monaci bertugas di Siberut Selatan, dan sekitar lima tahun kemudian dia memulai pembuatan kanal ini. Awalnya, Monaci yang memang menaruh perhatian pada soal-soal perhubungan melihat bahwa semestinya warga tak perlu menempuh perjalanan panjang untuk bepergian dari satu tempat ke tempat lain.
”Saya melihat peta, lalu saya melalukan survei untuk pembuatan kanal ini,” ujar Monaci yang sehari-hari bertugas sebagai pastor di wilayah Sikabaluan, Kecamatan Siberut Utara.
Atas hasil kerjanya itu, Monaci nyaris mendapatkan penghargaan Kalpataru pada tahun 1996. Namun, penghargaan itu urung diberikan karena, menurut Monaci, pihak yang berwenang kemungkinan menganggap dirinya masih memiliki kewarganegaraan asing.
”Padahal, saya sudah menjadi warga negara Indonesia sejak tahun 1983,” kata Monaci yang merupakan anak kelima dari tujuh bersaudara itu. Pada 1997, penghargaan serupa sempat akan diberikan lagi, tapi kali ini dari Pemerintah Provinsi Sumbar. Namun, itu juga gagal dengan alasan keterlambatan administratif.
”Ya waktu itu saya katakan, kalau memang sudah hangus tak perlu beritahu saya. Saya kan kerja tidak untuk dapatkan penghargaan apa-apa. Itu tidak penting,” ujar Monaci.
Menurut Monaci, sejak lulus dari Seminari Tinggi di Novara dan ditahbiskan pada 20 Juni 1964, ia selalu memendam hasrat untuk bisa berkunjung ke bagian timur dunia. ”Saya suka Timur. China, Jepang, itu hasrat saya. Saya selalu merasa ada sesuatu di Timur,” katanya.
(Ingki Rinaldi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar